Minggu, 04 Januari 2015

Persyaratan Konselor dan Kode Etik Konselor


A.  Persaratan Konselor
Sebagai seorang konselor sekolah bukanlah suatu hal yang mudah dan ringan, sebab individu-individu yang dihadapi sehari-hari di sekolah satu dengan yang lain memiliki permasalahan yang berbeda, masing-masing individu atau siswa mempunyai keunikan atau kekhasan baik dalam aspek tingkah laku, kepribadian maupun sikap-sikapnya.
Pentingnya bimbingan dalam pendidikan, menuntut seorang konselor memiliki syrat-syarat yang selayaknya ia miliki sebagai seorang pembimbing untuk kelancaranya dalam melaksanakan bimbingan konseling.
Arifin dan Eti Kartikawati (1994/1995) menyatakan bahwa petugas bimbingan dan konseling di sekolah dipilih berdasarkan kualifikasi:
1.    Kepribadian
·      Konselor adalah pribadi yang intelegen, memiliki kemampuan berpikir verbal dan kuantitatif, bernalar dan mampu memecahkan masalah secara logis dan persetif.
·      Konselor menunjukkan minat kerja sama dengan orang lain, di samping seorang ilmuwan yang dapat memberikan pertimbangan dan menggunakan ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku individual dan sosial.
·      Konselor menampilkan kepribadian yang dapat meneriman dirinya dan tidak akan menggunakan kliennya untuk kepuasan kebutuhan pribadinya melebihi batas yang ditentukan oleh kode etik profesionalnya.
·      Konselor memiliki nilai yang diakui kebenaranya sebab nilai-nilai ini akan mempengaruhi perilakunya dalam situasi konseling dan tingkah lakunya secara umum.
·      Konselor menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah yang mendua dan ia memiliki kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang kurang menentu tersebut tanpa terganggu profesinya dan aspek kehidupan pribadinya.
·      Konselor cukup luwes untuk memahami dan memperlakukan secara psikologis tanpa tekanan-tekanan sosial untuk memaksa klien menyesuaikan dirinya.
     Sifat – sifat kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang konselor sekolah menurut Dewa Ketut Sukardi (1986:28), antara lain:
a.    memiliki pemahaman terdapat orang lain secara objektif dan simpatik
b.    memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain secara baik dan lancar
c.    memahami batas – batas kemampuan yang ada pada dirinya sendiri
d.   memiliki minat yang mendalam mengenai murid – murid, dan berkeinginan sungguh – sungguh untuk memberikan bantuan kepada mereka
e.    memiliki kedewasaan pribadi, spiritual, mental, sosial dan fisik.
2.    Pendidikan
     Seorang guru pembimbing atau konselor profesional selayaknya memiliki pendidikan profesi, yaitu jurusan bimbingan konseling Strata Satu (S1), S2 maupun S3. Atau sekurang-kurannya pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan tentang bimbingan dan konseling.
     Seorang guru pembimbing atau konselor nonprofessional yakni alumni fakultas keguruan atau tarbiyah dapat diangkat menjadi seorang konselor profesional, tetapi harus mengikuti terlebih dahulu pendidikan tambahan (pendididkan profesi) dalam bidang bimbingan dan konseling.
     Syarat pendidikan berkenaan dengan keilmuan yang dimiliki oleh guru pembimbing atau konselor. Konselor tidak saja harus memiliki ilmu bimbingan dan konseling, tetapi juga harus memiliki pengetahuan psikologi, bimbingan, dan konseling keterampilan komunikasi sosial dan konseling.
3.    Pengalaman
     Seorang konselor harus memiliki pengalaman kerja minimal 3 tahun mengajar, banyak membimbing berbagai kegiatan ekstrakulikuler dan banyak pengalaman dalam organisasi. Corak pengalaman yang dimiliki seorang konselor akan membantunya mendiagnosis dan mencari alternative solusi terhadap klien.
4.    Kemampuan
     Seorang pembimbing harus memiliki kemampuan (kompetensi). M.D. Dahlan (1987) menyatakan bahwa konselor dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan melaksanakan konseling. Guru pembimbing atau konselor harus mampu mengetahui dan memahami secara mendalam sifat-sifat seseorang, daya kekuatan pada diri seseorang, merasakan kekuatan jiwa apakah yang mendorong seseorang berbuat dan mendiagnosis berbagai persoalan siswa, selanjutnya mengembangkan potensi individu secara positif.
B.  Kode Etik Konselor
Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos”, yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu atau masyarakat untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Kode Etik merupakan kode moral yang menjadi landasan kerja bagi pekerja profesional. Etik merupakan standar tingkah laku standar seseorang atau sekelompok orang yang didasarkan atas nilai-nilai yang disepakati (Latipun, 2008:248-249).
Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap profesional Bimbingan dan Konseling Indonesia.
Kode etik profesi konselor mengalami perubahan pada tahun 2004 ketika organisasi profesi konselor yang awalnya IPBI menjadi ABKIN, berikut perubahan-perubahan konten yang terjadi:
Kode Etik 1991
Kode Etik 2004
Anggota memiliki latar belakang yang berbeda asalkan bergelut dalam dunia bimbingan
Latar belakang anggota difokuskan pada konselor
Tidak dijelaskan mengenai kualifikasi yang harus dimiliki oleh konselor
Dijelaskan kualifikasi yang harus dimiliki konselor
Terdapat klasifikasi pemberian bantuan karenakan perbedaan latar belakang
Kompetensi pemberian bantuan disamakan, adapun alih tangan kasus merupakan hal yang berada diluar kewenangan konselor
Dalam hal hubungan kelembagaan hanya dicantumkan “tetap mementingan klien dan lembaga”
Telah diruntut pula tanggung jawab, kebijaksanaan, ketentuan dan pengetahuan
Belum terdapat hak praktik mandiri karena IPBI tidak mengikat profesi
Sudah terdapat ketentuan mengenai praktik mandiri konselor
Belum disinggung mengenai hak dan kewajiban; sanksi terhadap pelanggaran kode etik
Sudah disinggung hak dan kewajiban; disinggung mengenai sanksi terhadap pelanggaran kode etik

a.    Dasar kode etik profesi bimbingan dan konseling:
1.    Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
3.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 28 ayat 1, 2 dan 3 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan)
4.    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
5.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
b.   Tujuan kode etik konselor
1.    Menjunjung tinggi martabat profesi;
2.    Melindungi pihak yang menjadi layanan profesi dari perbuatan mal-praktik;
3.    Meningkatkan kualitas profesi;
4.    Menjaga status profesi;
5.    Menegakkan  ikatan  antara  tenaga  professional  dengan  profesi yang disandangnya.
c.    Pelanggaran kode etik
Konselor harus selalu mengkaji tingkah laku dan perbuatannya tidak melanggar kode etik ini.
1.    Konselor harus senantiasa mengingat bahwa pelanggaran terhadap kode etik ini akan merugikan mutu proses dan hasil layanan yang diberikan, merugikan klien, lembaga dan pihak-pihak lain yang terkait, serta merugikan diri konselor sendiri dan profesinya.
2.    Pelanggaran terhadap kode etik ini akan mendapatkan sanksi berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh ABKIN.



Daftar Pustaka
Latipun. 2008. Psikologi Konseling. Malang : UMM PRESS.

Prayitno dan Erman Amti. 2006. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling.Jakarta:Rineka Cipta

0 komentar :

Posting Komentar

About

taraditas@yahoo.co.id taraditaw@gmail.com