BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang seringkali
bertanya mengapa orang lain (atau dirinya sendiri) menunjukkan suatu perilaku
tertentu. Pertanyaan-pertanyaan berikut ini mencerminkan beberapa hal yang
ingin dijawab oleh teori atribusi :
v Mengapa orang lain (dirinya)
berhasil/gagal mencapai sesuatu?
v Mengapa dia (saya) mau melakukan
perbuatan luhur itu?
v Mengapa dia (saya) tega melakukan
perbuatan buruk itu?
Faktor-faktor penyebab dari perbuatan seperti dicontohkan
pada pertanyaan pertanyaan diatas, ingin dijawab oleh teori atribusi. Karena
itu teori atribusi adalah teori tentang bagaimana manusia menerangkan perilaku
orang lain maupun perilakunya sendiri dan akibat dari perilakunya yang
dipertanyakan, misalnya: sifat-sifat, motif, sikap, dsb.
Faktor-faktor situasi eksternal. Untuk memberikan
penjelasan/penerangan terhadap suatu perilaku atau suatu akibat perilaku itu,
biasanya tidak hanya dilihat perilakunya. Tetapi dilihat juga: masa lalu dari
orang yang menunjukkan perilaku itu, motivasinya, situasinya, dsb.
Beragam teori dan pendapat dari tokoh psikologi yang
mengamati kondisi jiwa manusia terhadap respon yang diterima dan diamati
kemudian tersimpulkan pada sebuah aksi dan diwujudkan dalam proses belajar.
Salah satu teori yang digunakan dalam proses belajar adalah teori atribusi yang
diharapkan dapat menjelaskan penyebab dari suatu kejadian.
Memahami sebuah kondisi emosional atau kejiwaan seseorang
dapat bermanfaat dalam beberapa hal. Akan tetapi hal ini hanya langkah pertama
dalam pembahasan psikologi. Biasanya kita ingin memahami hal tersebut lebih
jauh agar dapat mengetahui sifat-sifat individu yang bersifat tetap dan
mengetahui penyebab di balik perilaku mereka.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
1.2.1
Apakah pengertian Teori Atribusi?
1.2.2
Apa saja kesalahan atau bias dalam atribusi?
1.2.3
Bagaimana ruang lingkup dan aplikasi
teori atribusi?
1.2.4
Bagaimana guru menerapkan teori atribusi
dalam pembelajaran?
1.3
TUJUAN
1.3.1
Mengetahui pengertian teori atribusi
1.3.2
Mengetahui kesalahan atau bias apa saja
dalam atribusi
1.3.3
Mengetahui ruang lingkup dan aplikasi
teori atribusi
1.3.4
Mengetahui parilaku atau tindakan guru
menerapkan teori atribusi dalam pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Teori Atribusi
Atribusi
adalah sebuah teori yang membahas tentang upaya-upaya yang dilakukan untuk memahami
penyebab-penyebab perilaku kita dan orang lain. Definisi formalnya, atribusi
berarti upaya untuk memahami penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam
beberapa kasus juga penyebab di balik perilaku kita sendiri
Teori
atribusi bermula dengan gagasan Fritz
Heider bahwa setiap individu mencoba untuk memahami perilaku mereka
sendiri dan orang lain dengan mengamati bagaimana sesungguhnya setiap individu
berperilaku. Penyebab situasional (dipengaruhi oleh lingkungan), pengaruh
pribadi (mempengaruhi secara pribadi), kemampuan (dapat melakukan sesuatu),
usaha (mencoba melakukan sesuatu), hasrat (keinginan untuk melakukannya),
perasaan (merasa menyukainya), keterlibatan (setuju dengan sesuatu), kewajiban
(merasa harus), dan perizinan (telah diizinkan).
Brant Burleson menguatkan teori Atribusi yang sudah ada yaitu mengenai
interprestasi persuasif yang menghasilkan sebuah persepsi.
Teori atribusi yang lain yang dikemukakan
oleh Kelley & Micella, 1980
yaitu teori atribusi internal dan ekstenal, teori yang berfokus pada akal
sehat.
Sementara
menurut Weiner atribusi adalah teori
kontemporer yang paling berpengaruh dengan implikasi untuk motivasi akademik.
Hal ini dapat diartikan bahwa teori ini mencakup modifikasi perilaku dalam arti
bahwa ia menekankan gagasan bahwa peserta didik sangat termotivasi dengan hasil
yang menyenangkan untuk dapat merasa baik tentang diri mereka sendiri.
Teori yang
dikembangkan oleh Bernard Weiner ini merupakan gabungan dari dua bidang minat
utama dalam teori psikologi yakni motivasi dan penelitian atribusi. Teori yang
diawali dengan motivasi, seperti halnya teori belajar dikembangkan terutama
dari pandangan stimulus-respons yang cukup popular dari pertengahan 1930-an
sampai 1950-an.
Menurut
Weiner, factor paling penting yang mempengaruhi atribusi ada empat factor yakni
antara lain :
1.
Ability
yakni kemampuan, adalah factor internal dan relative stabil dimana peserta
didik tidak banyak latihan control langsung.
2.
Task
difficulty yakni kesulitan tugas dan stabil merupakan factor eksternal yang
sebgaian besar di luar pembelajaran control.
3.
Effort
yakni upaya, adalah factor internal dan tidak stabil dimana peserta didik dapat
latihan banyak control.
4.
Luck
yakni factor eksternal dan tidak stabil dimana peserta didik latihan control
sangat kecil.
Teori
aribusi juga dapat digunakan untuk menganalisis keberhasilan dan kegagalan
seseorang. Menurut Weiner untuk menganalisis keberhasilan dan kegagalan
seseorang didasarkan pada dua dimensi yaitu Locus of control (LC
internal-eksternal) maksudnya suatu keberhasilan ayau kegagalan seseorang dapat
disebabkan oleh dua factor internal atau eksternal dan dimensi stabilitas
penyebab maksudnya bahwa apakah kegagalan atau keberhasilan seseorang
disebabkan oleh factor-faktor yang
bersifat stabil atau factor yang tidak stabil.
Kestabilan
(locus of CTRL)
|
Tidak stabil
(Temporer)
|
Stabil
(Permanen)
|
Internal
|
Usaha,mood,kelelahan
|
Bakat, kecerdasan, karakteristik fisik
|
Eksternal
|
Nasib, ketidaksengajaan, kesempatan
|
Tingkat kesukaran Tugas
|
Sebenarnya istilah atribusi mengacu
kepada penyebab suatu kejadian atau hasil menurut persepsi individu. Dan yang menjadi
pusat perhatian atau penekanan pada penelitian di bidang ini adalah cara-cara
bagaimana orang memberikan penjelasan sebab-sebab kejadian dan implikasi dari
penjelasan-penjelasan tersebut. Dengan kata lain, teori itu berfokus pada
bagaimana orang bisa sampai memperoleh jawaban atas pertanyaan “mengapa”?
(Kelly 1973).
Ada tiga teori yang berkaitan erat dengan teori atribusi ini, yakni teori
yang berkembang pada bidang psikologi. Pertama teori yang dikembangkan oleh Naïve
Psychology, kedua Correspondent Inference yang menekankan pada
pengkajian intentionality (rencana atau tujuan tindakan seseorang) dan
ketiga Covariation Model yang mencoba menjelaskan tindakan seseorang
dengan mengajukan pertanyaan sekitar konsensus, konsitensi dan perbedaan (distinctiveness)
serta kemampuan untuk mengontrol (controllability).
1.
Atribusi Sebagai Naïve Psychology
Teori ini dibahas pada awalnya dalam
psikologi yang disebut naïve psychology, suatu kajian psikologi yang mencoba
mendiskrifsi bagaimana masyakarat pada umumnya bertindak. Menurut aliran ini
tindakan kebanyakan orang berdasarkan pada penilaian dan penyimpulan terhadap
suatu tingkah-laku yang ada disekelilingnya tanpa berpikir secara mendalam,
sehingga menimbulkan pendapat umum tentang tindakan tersebut. Yakni dengan
mencoba menduga-duga penyebab dari suatu tindakan dilakukan oleh seseorang dan
langsung disimpulkan tanpa melalui proses pengumpulan data dan analisis yang
serius, hal ini diebut juga folk psychology.
Menurut
Fritz Heider (1958) jika anda melihat seseorang berbuat sesuatu, maka secara
langsung anda membuat suatu penilaian tentang apa yang menyebabkan orang
tersebut melakukan hal itu. Dan penilaian tersebut bisa terjadi dengan melihat
faktor disposisional (dispositional) atau faktor situasional. Disposisional
adalah faktor internal dan individual seperti kepribadian, karakter atau faktor
biologis. Sedangkan situasional adalah faktor external seperti lingkungan atau
keadaan.
Berkomunikasi dengan pendekatan
attribution berarti orang tersebut akan menyampaikan pesan kepada lawan
komunikasinya dengan bersandarkan pada hasil penilaiannya (persepsinya)
terhadap tingkah-laku lawan bicaranya.
Kita
mengatribusi suatu tindakan
disebabkan daya personal, hanya jika orang yang kita persepsi tersebut mempunyai
kemampuan untuk bertindak, berniat untuk melakukan dan berusaha untuk
menyelesaikan tindakannya. Jika demikian, kita beranggapan bahwa atribusi
tersebut berhubungan dengan sifatnya, sehingga dapat kita gunakan
untukmeramalkan tindakan-tindakan di masa yang akan dating. Disisi lain, jika
kita mengatribusi sebagai daya lingkungan, hal ini tidak ada hubungannya dengan
sifat orang yang kita persepsi, sehingga tidak dapat digunakan untuk meramalkan
tindakan-tindakan di msa yang akan datang.
2.
Teori Correspondent Inference
Masih tentang atribusi (menyifati
atau menialai tingkah laku seseorang) Edward E. Jones and Keith Davis (1965)
mengajukan teori Correspondent Inference, menurutnya ketika seseorang
menilai tingkah laku orang lain (actor) sebagai akibat dari faktor
disposisi (dorongan internal dirinya) maka sebenarnya telah menilai rencana (intention)
apa yang ada pada diri orang tersebut sebagai kesimpulan yang selaras dengan
tingkah laku sang aktor.
Tapi untuk menentukan rencana apa
yang terkandung dalam diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan bukanlah
hal yang mudah. Menentukan apakah si A melakukan tindakan B karena tujuan Z.
Ada beberapa faktor sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan penilaian
terhadap rencana (intention) prilaku sang pelaku: Seperti pilihan
(choice) mengapa si pelaku melakukan itu? Kemudian kebutuhan sosial
pelaku (sosial desirability), aturan sosial (sosial role),
gambaran sebelumnya tentang pelaku (prior expectation) atau pengetahuan
tentang latar belakangnya, kesenangan (hedonic relevance) dan
atau gambaran tentang sifat pribadi pelaku (personalisme).
Mempertimbangkan enam hal tersebut bisa membantu dalam menilai rencana tindakan
sang aktor, tapi terlalu bersandar pada sebagian hal tersebut bisa juga
melahirkan bias dalam penilaian dimensi internal (disposition) prilaku
sang actor.
3.
Covariation Model
Teori lain berkenaan dengan atribusi
dikemukakan oleh Kelley (1967) yang mencoba menjelaskan penilaian terhadap
alasan (cause) tingkah laku seseorang dengan lebih luas dibanding dengan apa
yang diajukan Jones yang hanya menitik beratkan pada intentionality.
Teori Harold
Kelley merupakan perkembangan dari Heider. Focus teori ini, apakah tindakan
tertentu disebabkan oleh daya-daya internal atau daya-daya eksternal. Kelley
berpandangan bahwa suatu tindakan merupakan suatu akibat atau efek yang terjadi
Karena adanya sebab. Oleh karena itu, Kelley mengajukan suatu cara untuk
mengetahui ada atau tidaknya hal-hal yang menunjuk pada penyebab tindakan,
apakaha daya internal atau daya eksternal. Kelley mengajukan tiga factor dasar
yang dapat digunakan untuk memutuskan hal tersebut, yaitu:
1. Konsensus
yaitu bagaimana seseorang bereaksi bila dibandingkan dengan orang-orang lain
terhadap stimulus tertentu. Misalnya bila seorang mahasiswa melakukan perilaku
tertentu sedangkan mahasiswa lain tidak melakukan hal yang sama maka dapat
dikatakan bahwa consensus mahasiswa tersebut rendah.
2. Konsistensi
yaitu bagaimana sesorang bereaksi terhadap stimulus yang sma dalam situasi dan
keadaan yang berbeda. Misalnya seorang mahasiswa tidur saat kuliah dosen x dan
berperilaku sama pada dosen yang lain maka mahasiswa tersebut dikatakan
mempunyai konsistensi yang tinggi.
3. Kekhasan
yaitu bagaimana seseorang bereaksi terhadap stimulus atau situasi yang
berbeda-beda, misalnya seorang mahasiswa yang tidur saat kuliah dosen x, tetapi
pada dosen-dosen yang lain dia tidak tidur, maka dapat dikatakan bahwa
mahasiswa tersebut mempunyai kekhasan yang tinggi.
Secara singkat dapat digambarkan
untuk menentukan atribusi atas prilaku seseorang dengan model Kelley adalah
sebagai berikut:
Ø Jika
konsensus tinggi + konsistensi tinggi + distingtif tinggi = atribut eksternal
(situasional)
Ø Jika
konsensus tinggi + konsistensi rendah + distingtif tinggi= atribut eksternal
(situasional).
Ø Jika
konsensus tinggi + konsistensi rendah + distingtif rendah= atribut internal
(disposisional)
Ø Jika
konsensus rendah + konsistensi tinggi + distingtif rendah= atribusi internal
(disposisional)
2.2
Kesalahan
atau Bias dalam Atribusi
Dalam atribusi
tidak selamanya memberikan keberhasilan menginterpretasi perilaku seseorang.
Hal ini karena dalam atribusi sering terjadi kesalahan atau bias. Ada beberapa
bias dalam atribusi yaitu sebagai berikut:
a. Bias
fundamental atribusi, yaitu bias yang terjadi bila pengamat dalam memberi
atribusi pada pelaku lebih menekankan factor eksposisi/internal dari pelaku dan
factor situasi dikesampingkan misalnya mahasiswa yanhg bernama A gaduh dikelas,
pengamat menganggap bahwa A mencari perhatian dan tidak dilihat dari situasi
mengapa si a gaduh.
b. Bias
self serving, yitu bias yang terjadi karena pada setiap orang terdapat
kecenderungan uum untuk menghindari celaan karena kesalahannya, misalnya:
mahasiswa A mendapat nilai E untuk mata kuliah tertentu maka mahasiswa tersebut
akan mengatakan bahwa dosennya tidak becus mengajar atau killer.
c. Efek
pelaku pengamat, yaitu bias yang terjadi karena hubungan antara pelaku dan
pengamat kurang baik, sehingga di dalam mengatribusi kegagalan mahasiswa dalam
ujian menurut dosen kegagalan dikarenakan mahasiswa tidak belajar, sedangkan
menurut mahasiswa dosennya tidak bisa mengajar.
d. Bias
self blame, yaitu bias yang terjadi karena ada kecenderungan untuk menyalahkan
dirinya sendiri.
e. Hidonice
relevance, yaitu bias yang terjadi karena pengamat sering kurag obyektif di
dalam memberikan penilaian terhadap peristiwa yang memyangkut dirinya dikaitkan
dengan kesenangan yaitu apakah sesuattu itu menguntungkan atau merugikan. Bila
menguntungkan maka atribusi positif sedangkan bila merugikan maka atribusi
negative.
f. Bias
egocentris, yaitu bias yang terjadi karena ada anggapan bahwa orang lain akan
berbuat sperti dirinya atau sering juga dinyatakan secara umum mengukur
perilaku seseorang mendasarkan pada dirinya.
2.3
Ruang
Lingkup dan Aplikasi Teori Atribusi
2.4.1
Ruang
Lingkup Teori Atribusi
Atribusi
Teori telah digunakan untuk menjelaskan perbedaan dalam motivasi berprestasi
antara tinggi dan rendah. Menurut teori atribusi, berprestasi tinggi akan
mendekati daripada menghindari tugas-tugas terkait untuk berhasil, karena
mereka percaya bahwa kesuksesan adalah karena kemampuan yang tinggi dan usaha yang
mereka yakin. Kegagalan dianggap disebabkan oleh nasib buruk atau ujian yang
miskin dan bukan kesalahan mereka. Jadi, kegagalan tidak mempengaruhi harga
diri mereka tetapi sukses membangun kebanggaan dan kepercayaan diri.
Di
sisi lain, berprestasi rendah menghindari tugas yang berhubungan dengan
keberhasilan karena mereka cenderung untuk (a) meragukan kemampuan mereka dan/
atau (b) menganggap kesuksesan adalah berkaitan dengan keberuntungan atau untuk
“siapa yang Anda tahu” atau faktor-faktor lain di luar kendali mereka. Jadi,
bahkan ketika sukses, adalah tidak bermanfaat untuk yang berprestasi rendah
karena dia/dia tidak merasa bertanggung jawab, tidak meningkatkan harganya dan
kepercayaan diri.
2.4.2
Aplikasi
Teori Atribusi
1.
Atribusi dan Depresi
Depresi adalah gangguan psikologi yang hampir dialami
setiap manusia. Individu yang depresi cenderung mempunyai pikiran yang
bertentangan dengan bias mengutamakan diri sendiri. Kalau hasilnya bagus, maka
itu merupakan keberhasilan yang didapat dari intervensi orang lain. Namun, jika
kegagalan yang terjadi hal itu merupakan kesalahan mutlak dari dirinya sendiri
sehingga orang akan merasa bahwa dirinya tidak memiliki arti dan akhirnya mudah
menyerah dalam hidupnya.
2.
Atribusi dan Prasangka
Harga sosial yang mesti dibayar ketika mempertanyakan
diskriminasi. Misalnya seseorang pada ras minoritas tidak menerima tidak
diterima dalam pekerjaan, dia berprasangka bahwa tidak diterimanya dia karena
dia berasal dari minoritas. Tetapi, setelah dipikir-pikir lagi, maka akan
muncul bahwa dia memang tidak cocok dengan pekerjaan itu dan dia hanya mengeluh
saja, dan justru muncul pemikiran negatif kita terhadap orang tersebut.
2.5
Perilaku
Guru Menerapkan Teori Atribusi dalam Pembelajaran
Teori
atribusi yang dikembangkan oleh Bernard Weiner dalam lingkungan pendidikan
menitik beratkan pada :
1.
Pengaruh
hasil perbuatan berupa keberhasilan dan kegagalan.
2.
Memberikan
suatu kerangka kerja untuk melakukan analisa terhadap interaksi guru dan
peserta didik di kelas.
Model
pembelajaran langsung dalam teori ini merupakan model pembelajaran yang sering
digunakan oleh sebagian besar Guru. Menurut Arends (1997), pembelajaran
langsung disajikan dalam lima tahap, yaitu:
1.
Penyampaian
tujuan pembelajaran
2.
mendemonstrasikan
pengetahuan dan keterampilan
3.
pemberian
latihan terbimbing
4.
mengecek
pemahaman dan memberikan umpan balik
5.
pemberian
perluasan latihan dan pemindahan ilmu.
Penerapan
Teori Atribusi Weiner dalam pembelajaran langsung dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan yang lebih luas kepada peserta didik agar mengembangkan lingkungan
proaktif yang positif. Dengan kata lain suasana pembelajaran menjadi berpusat
pada peserta didik (student oriented).
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan ke beberapa sekolah, yang sengaja difokuskan
pada pembelajaran (materi matematika). Sementara hasil observasi menunjukan
proses pembelajaran umumnya masih didominasi oleh guru, sehinga komunikasi
antara guru dengan peserta didik belum optimal. Selain itu, dalam menanggapi
hasil pekerjaan siswa, guru hanya menyatakan benar atau salah tanpa menanyakan
alas an dan penyebab jawaban siswa. Kebiasaan inilah yang dapat mengakibatkan
ketuntasan belajar dan pencapaian hasil belajar peserta didik tidak mencapai
tujuan yang diharapkan.
Untuk mengatasi
masalah diatas, Soedjadi (1998/1999) mengatakan perlunya diupayakan
pembelajaran yang memberi kesempatan luas pada peserta didik untuk aktif
belajar dengan merubah pola pembelajaran yang semula berpusat pada guru (
teacher oriented ) hendaknya berubah menjadi terpusat pada peserta didik
(student oriented). Dalam hal ini, dipilih sebuah alternative pola pembelajaran
yang dapat mengaktifkan peserta didik dan meningkatkan komunikasi antara guru
dan peserta didik, dengan menerapkan teori atribusi dari Bernard Weiner.
Ada 3 langkah penerapan teori atribusi dalam pembelajaran
terdiri dari :
1.
Membangun
konsep
2.
Menanggapi
hasil kerja peserta didik
3.
Memantapkan
pemahaman konsep
Terdapat
3 faktor yang dapat ditemukan di kelas, yang mendukung perlunya teori Weiner,
yaitu:
a.
Tingkah
laku guru yang berlainan yang ditujukan kepada peserta didik yang diyakini tak
akan bisa berhasil
b.
Penggunaan
pujian dan celaan yang berbeda-beda di kelas
c.
Ciri
siswa/peserta didik
Tingkah
laku guru terhadap peserta didik yang rendah prestasi belajarnya tentu mendapat
bimbingan yang berbada dengan peserta didik yang lain. Contohnya ialah,
mendudukkan peserta didik yang berprestasi rendah jauh dari guru dan atau
didalam kelompok, menuntut kerja dan usaha yang semula jauh dari perhatian guru
dikarenakan kurangnya kesempatan untuk menjawab pertanyaan ataupun bertanya.
Sementara
penggunaan pujian dan celaan yang berbeda, dimaksudkan kedalam bentuk pemberian
reward dan punishman yang berkaitan dengan bentuk penugasan. Pujian secara khas
diberikan untuk usaha yang membuahkan hasil baik. Dalam sebuah penelitian,
peserta didik yang mendapat pujian karena sukses ternyata kemampuannya dinilai
lebih rendah daripada peserta didik yang menerima celaan.
Adapun pada
ciri peserta didik, terdapat tiga ciri yang berfungsi di dalam kelas terkait
mengenai keberhasilan atau kegagakan peserta didik. Ketiga ciri tersebut adalah
tingkat perkembangan, rasa harga didi peserta didik dan jenis kelamin.
Yang perlu
diperhatikan pada teori Weiner dalam pembelajaran yang terkait dengan
keberhasilan dan kegagalan peserta didik, lebih menekankan pada unsure kesiapan
peserta didik untuk menerima materi pelajaran, dan didukung oleh serangkain
motivasi belajar peserta didik dengan memandang pada iklim kelas yang lebih
menekankan pada proses belajar dari pada hasil belajar yang kompetitif. Dengan
kata lain, kondisi kelas disusun untuk memperkuat kepercayaan bahwa
keberhasilan belajar dapat dicapai dengan jalan usaha yang konstruktif dengan
mengembangkan lingkungan proaktif yang positif.
BAB III
PENUTUP
1.1
SIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat
disimpulkan antara lain:
1.
Teori
atribusi bermula dengan gagasan Fritz Heider bahwa setiap individu mencoba
untuk memahami perilaku mereka sendiri dan orang lain dengan mengamati
bagaimana sesungguhnya setiap individu berperilaku.
2.
Teori
Atribusi Weiner lebih menekankan pada upaya untuk memahami penyebab di balik
perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus juga penyebab di balik perilaku
kita sendiri.
3.
Ada tiga teori yang berkaitan erat dengan teori
atribusi ini, yakni teori Naïve Psychology, kedua Correspondent
Inference dan ketiga Covariation Model.
4.
Kesalahan atau bias dalam
atribusi, yaitu bias fundamental atribusi, bias self serving, efek
pelaku pengamat, bias self blame, hidonice relevance, bias egocentris.
5.
Teori
atribusi ini sangat tepat digunakan dalam proses pembelajaran karena dapat
membantu guru dalam melatih peserta didik untuk memotivasi agar lebih aktif
dalam belajar, karena memang menekankan pada kemampuan berkomunikasi.
6.
Keberhasilan
dan kegagalan yang terjadi dalam belajar tergantung pada sikap guru dalam
menciptakan suasana belajar.
7.
Meski
terdapat beberapa kekurangan, namun teori ini dapat menjadi salah satu
alternative bagi proses belajar mengajar.
3.2
SARAN
1.
Ketuntasan
belajar dapat dicapai atau diharapkan dengan menerapkan teori atribusi dalam
pembelajaran.
2.
Perlu
dicari factor-faktor yang menyebabkan belum tuntasnya hasil belajar secara
maksimal .
3.
Bagi
guru agar membiasakan merancang pembelajaran yang mengandung pesan-pesan
atribusi, sehinga dapat muncul atribusi yang positif dari peserta didik
terhadap keberhasilan maupun kegagalan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Joko Winarto. 2011. Teori
Atribusi Berner Weiner dan Implementasinya dalam Pembelajaran.
Mara
Suzana. 2010. Teori Atribusi Berner
Weiner dan Implementasinya dalam Pembelajaran.
Diases pada 29 Desember
2013 dari
http://marasuzanabintimasrizal.blogspot.com/atribusi-sosial.htm
0 komentar :
Posting Komentar